Selamat datang di "PunyaKita" blog. Blog 1semua ini merupakan bagian dari tampungan ragam informasi yang diperuntukkan bagi siapa saja untuk menambah wawasan baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk lingkungan di sekitar kita

Sabtu, 22 Juni 2013

Banya Sumurup, Perkampungan Pembuat Keris

Bagi penggemar atau kolektor keris, nama Banyu Sumurup tak lagi asing terdengar di kuping mereka. Desa yang berada di wilayah Imogiri atau sekitar 500 meter arah tenggara makam-makam raja Mataram ini dikenal sebagai desa pembuat keris, baik itu keris pusaka ataupun hanya keris souvenir. 

Ketenaran empu atau pengrajin keris yang berasal dari desa Banyu Sumurup ini tak hanya dikenal di Indonesia saja, tetapi juga telah tersebar di negera Brunei Darussalam saja, tetapi juga Belanda, Australia dan juga negara-negara di Timur Tengah. “Kami pernah dipesan Sultan Brunei Darussalam dan juga orang Malaysia untuk membuat keris,” ungkap Djiwo Dihardjo, salah satu empu keris . 

Selain orang-orang mancanegara, Djiwo juga mengaku sering dipesan untuk membuat keris oleh para pejabat Indonesia. Di antaranya adalah seorang Gubernur Bali pada tahun 1972. Gubernur itu membayar sebuah keris yang dibuatnya dengan harga Rp 65 juta. “Sebuah jumlah yang luar biasa,” tutur Djiwo, bapak 4 anak ini. Kini, lanjut Djiwo, dirinya tengah dipesan membuat 2 buah keris dari seorang pengusaha dari Toraja dan akan dibayar Rp. 7,5 juta. Menurut Djiwo, dari pekerjaannya yang hanya mengandalkan membuat keris itu dipandang cukup bahagia dan bisa membesarkan keempat anaknya, di samping istrinya. 

Ia lantas menceriterakan, pada tahun 1972 omzetnya bisa mencapai puluhan juta. Kalau dihitung dengan biaya transpor, juga bahan membuat keris dan lain sebagainya, maka yang diterima bersih, satu bulan hanya didapat Rp. 3 juta. “Tapi sekarang cukuplah untuk hidup,” tambahnya. Djiwo mengaku setiap tahunnya rata-rata bisa membuat 6–10 keris pusaka. Omzetnya untuk sekian banyak itu sekitar puluhan juta. Tapi bersihnya dia menerima sekitar Rp. 2 juta per bulan. 

Hal senada juga diungkapkan oleh Hartinah yang mengkhususkan hanya membuat werangka keris. Dalam sehari, dirinya mampu membuat sampai 2 kodi. Meski tak laku semuanya, namun dirinya bisa mendapat nafkah yang cukup lumayan. “Dalam sehari saya bisa mengantongi keuntungan Rp 25.000 sampai Rp 50.000,” ungkapnya. 

Ketenaran Banyu Sumurup sebagai kampung pembuat keris tak luput dari jasa besar Empu Supomo. Konon, alkisah, ketika itu di kerajaan Majapahit terjadi sebuah pemberontakan yang dilakukan oleh Soreng Loyo. Ontran-ontran ini membuat kalang kabut rakyat dan banyak yang melarikan diri ke luar Majapahit untuk menyelamatkan diri. 

Empu Supomo, salah satu empu yang mumpuni membuat keris di kerajaan Majapahit, bersama dengan keluarganya juga mencoba menyelamatkan diri. Ia lari ke daerah Imogiri, Yogya. Tepatnya di desa Banyu Sumurup itu. Di tempat yang baru inilah Empu Supomo merasa tenteram dengan lingkungannya.

Di desa Banyu Sumurup inilah pula, Empu Supomo lantas meneruskan keahliannya untuk tetap membuat keris pusaka yang diyakini sangat bertuah yang kemudian keahliannya itu diturunkan secara turun-menurun. Dari Empu Supomo, keahlian membuat keris ini diturunkan kepada Mbah Tomorejo, menurun lagi ke Iro Menggolo–Dipomenggolo–Haryo Menggolo–Kiai Cokro Harjo–Sosro Menggolo dan generasi yang sekarang ini Djiwo Dihardjo. “Tapi sampai saat ini keahlian ini belum bisa saya turunkan ke anak saya. Memang yang paling berbakat adalah anak saya yang pertama,” ujar Djiwo Diharjo.

Keris Pusaka 
Tak sembarangan membuat sebuah keris yang bertuah. Menurut penuturan Djiwo, proses pembuatannya harus mengetahui tanggal lahir si pemesan dan akan digunakan untuk apa. Setelah diadakan perhitungan dengan cara penanggalan Jawa, baru bisa ditentukan kapan (hari dan jam) keris itu bisa dibuat.

Selama dalam sepasar (5 hari) keris hanya dibuat dalam waktu dua jam sesuai dengan perhitungan. “Sewaktu membuat keris pun kita harus puasa. Selain tidak makan, juga tidak boleh bicara saat membuatnya. Kalau sampai itu dilanggar keampuhan keris itu akan punah.

Hasilnya seperti keris suvenir,” ungkap Jiwo. Harga keris ditentukan beberapa hal. Pertama dari bahan, seperti berlapis emas, gagang keris apakah dari gading atau apa, dilihat dari kesaktian keris–semakin sakti keris proses pembuatannya semakin lama, karena perlu menyelenggarakan acara ritual atau sesajen.

Untuk satu keris yang benar-benar berisi, proses pembuatannya bisa mencapai satu tahun. Biasanya rata-rata hanya 6 bulan. Yang agaknya menjadi kendala yang cukup berarti dalam membuat keris pusaka, menurut Djiwo, saat ini pamor (batu meteor) bahan pembuat keris sudah langka dan bahkan dibilang punah.

Akibatnya, untuk membuat keris alusan dengan cara sistem kanibal Keris lama dicopoti dan diambil untuk membuat keris yang baru. Pada mulanya, penduduk di Banyu Sumurup ini hanya membuat keris yang bertuah. Namun seiring perkembangan zaman, pada tahun 1972, keris mulai diproduksi secara massal untuk digunakan sebagai suvenir.

Djiwo pun juga ikut-ikutan membuat keris suvenir. Maka dirinya lantas mendidik 15 orang pemuda kampung untuk membuat keris. Tapi, lanjut Djiwo, agar tidak terjadi perebutan lahan, mereka lantas dibagi tiga kelompok. Ada yang khusus membuat keris, ada yang membuat warongko saja dan ada pula yang khusus ukiran. “Tujuan saya agar tidak terjadi perebutan lahan,” kata Djiwo.

Untuk memasarkan keris ini, Djiwo mengaku sangat dibantu oleh Pemprov DIY. Di tahun 1978, misalnya, Djiwo melakukan pemeran keliling ke Jakarta, Bandung, Bali dan Semarang. Keris Banyusumurup pun semakin dikenal.

Bahkan pada tahun 1985, sempat pula mengadakan pameran keris di Nedherland, tahun 1989 di Australia. Tak hanya itu, warga Banyu Sumurup juga membuka beberapa counter penjualan keris seperti di Blok M, Ancol, Bali, Bandung dan kota-kota lainnya.

“Kini hampir semua kebutuhan keris yang ada pesannya ya di Banyu Sumurup ini,” tutur Djiwo. Namun kini Djiwo tak lagi ikut-ikutan membuat keris suvenir. Ia kini mengkhususkan diri hanya membuat keris pusaka. ”Banyak saingannya,” tuturnya pendek.

Dipublikasi ulang oleh : Rukmiaji Muhammad


Tidak ada komentar:

Posting Komentar